KENDARI,TOPIKSULTRA.COM — Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tenggara memenjarakan kembali 6 orang narapidana penerima asimilasi dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona atau COVID-19, karena kembali melakukan kejahatan paska dibebaskan.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Sultra, KH Muslim, mengatakan narapidana yang dijebloskan kembali ke dalam “hotel prodeo” berjumlah 6 orang.
“Sehubungan dengan kebijakan memutus rantai virus Corona maka Kemenkumham Sultra membebaskan narapidana sekitar 600 orang.
“Sangat disayangkan keenam diantaranya kembali melakukan tindak pidana sehingga harus kembali dirutankan,” kata KH Muslim yang juga Ketua MUI Sultra.
Menurutnya, keenam napi penerima asimilasi COVID-19 yang kembali dijebloskan dalam kurungan tertangkap melakukan pidana pencurian dan pengancaman. “Konsekwensi dari perbuatan pidana yang dilakukan para narapidana penerima asimilasi COVID-19 adalah hak asimilasi dicabut,” ujarnya.
Atas perbuatan jahat mereka, seketika itu kembali dijebloskan dalam tahanan dan kehilangan hak asimilasi. “Sudah pasti kehilangan hak asimilasi karena dinilai tidak memiliki kesadaran atau bertobat mengulangi perbuatan melanggar hukum,” ujarnya.
Bahkan, narapidana harus bersiap-siap menjalani proses hukum lanjutan akibat perbuatan yang baru saja dilakukan. Mengenai pemicu narapidana kembali melakukan tindak pidana disebabkan ke 6 orang tersebut karena
faktor perilaku.
Pihak Kemenkumham tetap menjalankan fungsi pengawasan namun ada napi penerima asimilasi sengaja mengganti nomor telepon genggam sehingga kesulitan mengontrol mereka.
Secara terpisah, Pakar Hukum Tata Negara DR Laode Bariun, mengatakan tiga konsewensi yang menimpah narapidana asimilasi yang terlibat kejahatan adalah gugur hak asimilasi, sanksi hukuman berat dan tidak mungkin lagi diberikan hak asimilasi.
“Hukuman akan diperberat karena melakukan kejahatan berulang atau kategori residivis. Yang bersangkutan tidak mungkin lagi mendapatkan hak asimilasi,” kata Bariun.
“Sangat disayangkan jika ada narapidana penerima asimilasi yang ditangkap karena terlibat melakukan kejahatan,” kata Bariun yang juga Ketua Granat Sultra. Namun bagi Bariun, bukan sesuatu yang mengejutkan jika ada narapidana terlibat kejahatan karena pemberian
asimilasi pun tidak melalui proses yang matang. “Sesungguhnya yang paling mengetahui jejak perilaku warga binaan adalah lembaga pemasyarakatan. Maka yang paling kompeten menyatakan si A dan si B layak atau tidak memperoleh asimilasi adalah pihak Lapas,” katanya.
Menurut dia pemberian asimilasi dengan dalih memutus rantai virus Corona terkesan sekadar menggugurkan hukuman narapidana. Sebab esensi hukuman yang dijalani setiap narapidana adalah menanamkan efek jerah.
Bagaimana dengan fakta adanya narapidana penerima asimilasi yang terlibat melakukan kejahatan? Inilah dampak kebijakan (pemberian asimilasi) yang tidak memperhatikan aturan yang mengatur warga binaan di lembaga pemasyatakatan.
“Harus diakui bahwa kebijakan asimilasi narapidana cukup dilematis karena disatu sisi bertujuan memutus rantai penyebaran virus Corona tetapi disisi lain menimbulkan keresahan di tengah masyatakat,” ujarnya.
Di Sultra kata Bariun, tidak relevan dalih pemberian asimilasi untuk mencegah penyebaran virus Corona, sebab hingga kini tidak ada (mudah-mudahan tidak ada) warga binaan penghuni lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara yang positif, ODP, OTG maupun PDP.
Pembebasan Napi diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM
bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19. (Red)
Comment