TOPIKSULTRA.COM, BUTON UTARA – Pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Buton Utara (Butur), Sulawesi Tenggara (Sultra), disoroti karena diduga telah melakukan penyelewengan anggaran pembelian darah pasien.
Hal itu mengemuka, saat salah seorang pasien atas nama Sumriah yang diagnosis kekurangan hemoglobin atau Hb kekurangan sel darah merah dan membutuhkan tambahan darah.
Sumriah melalui suaminya bernama La Dali mengatakan, pada Juli 2022 lalu, istrinya masuk rumah sakit. Sumriah diagnosis kekurangan darah, namun karena di RSUD Butur tidak ada bank darah, maka ia diberikan surat pengantar dari dokter pemeriksa untuk mendapatkan darah di Palang Merah Indonesia (PMI).
“Saya melakukan pembelian darah di Kendari, di Palang Merah Indonesia (PMI) sebanyak 4 kantong senilai Rp 1.800.000,” ungkap La Dali saat dihubungi lewat telepon, Jumat (15/9/2023).
La Dali yang tinggal di Desa Eensumala, Kecamatan Bonegunu itu mengatakan, transaksi pembelian darah di PMI dibuktikan dengan kwitansi pembelian darah.
“Katanya, biaya darah dikembalikan oleh rumah sakit, karena kami sudah dijamin oleh BPJS Kesehatan,” katanya.
Terkait pengembalian uang harga darah, La Dali kemudian berkonsultasi di apotek RSUD Butur, pihak apotek mengarahkan ke bagian tata usaha sebagai pelayanan, tetapi tak juga mendapat solusi.
“Saya konsultasi di sana alasannya tidak ada bank darah, sehingga menurut mereka sulit untuk melakukan pembayaran (pengembalian uang harga darah),” imbuhnya.
La Dali kemudian diarahkan lagi untuk bertemu Direktur RSUD Butur, dr. Wa Ode Fortanita terkait permasalahannya.
“Saya ke sana, ternyata alasannya bilang belum dianggarkan dari pemerintah daerah,” katanya.
Ia mengaku dirinya sudah pernah diundang oleh pihak RSUD Butur untuk penyelesaian permasalahan tersebut pada 26 Agustus 2023. Namun rupanya ia hanya disampaikan, pihak rumah sakit sedang menunggu anggaran Perubahan APBD Tahun 2023.
Saat dikonfirmasi, Direktur RSUD Butur, dr. Wa Ode Forta Nita membantah tudingan-tudingan telah menyelewengkan anggaran pembelian darah setiap pasien.
Dr Forta menjelaskan, ada 2 macam pembiayaan di rumah sakit, yakni berdasarkan pasien BPJS dan pasien umum.
Dijelaskan, kalau pasien BPJS ketika sudah perawatan, pasiennya diklaim di BPJS. BPJS membayar berdasarkan diagnosa yang melekat di sistem.
“Di sistemnya sudah tercantum misalnya animea sekian, terus hipertensi sekian, sudah satu paket begitu,” kata dr. Forta kepada awak media saat ditemui di ruang kerjanya.
Ia menerangkan, setiap pasien itu pihaknya klaim ke BPJS sesuai tarif yang ada di Perda, BPJS yang membayarkan.
“Jadi yang dibayarkan BPJS itu terkadang tidak seperti yang kita klaim,” ujarnya.
Lanjutnya, misalnya pihaknya mengklaim dengan total Rp 4 Juta, tetapi yang dibayarkan cuma Rp 3 Juta.
“Jadi biasanya dibawah Rp 4 juta. Ada juga yang biasa di atasnya, karena dia sudah masuk di sistem,” jelasnya.
Dikatakan, anggaran yang diklaim tersebut masuk di rekening rumah sakit, tetapi langsung ditransfer ke kas daerah. Jadi yang diklaim di rumah sakit itu hanya jasa pelayanan medis.
“Hanya jasa medis ya. Berupa jasa medis misalnya tindakan untuk transfusi, tindakan untuk menyuntik, tindakan untuk jasa dokter dan lain-lain,” terangnya.
Disebutkan, 60 persen saja yang diklaim dari kas daerah. Itu yang dibagi sebagai jasa pelayanan pegawai rumah sakit.
“Jadi kita mau selewengkan dari mana itu uang. Karena itu yang lain-lainnya masuk ke kas daerah,” ujar Forta Nita.
Lalu ia menjelaskan, pihaknya mengembalikan uang kepada sebagian pasien yang sudah membeli darah, karena ada yang mengeluh terkait masalahnya, ia baru tahu, ternyata yang dijamin BPJS Kesehatan juga dengan harga darah.
“Jadi BPJS itu ternyata sudah termasuk dengan darah. Jadi setelah kita rembuk sama-sama, kita mulai menganggarkan. Kita berusaha untuk mengganti biaya yang sudah beli darah,” jelasnya.
Tapi ia mengatakan, tidak bisa pihaknya mengganti semua biaya pembelian darah. Karena anggaran rumah sakit yang tidak cukup. Sehingga pihak rumah sakit mengambil kebijakan dibayar sesuai Perda, yaitu 2 kantong darah, masing-masing senilai Rp 250 ribu perkantong darah. Sesuai dengan kemampuan anggaran yang ada.
Ia mengungkapkan, sudah ada kesepakatan dengan La Dali untuk dibayarkan senilai Rp 500 ribu, namun sampai saat ini La Dali tidak datang ke rumah sakit untuk mengklaim uang tersebut.
Dr. Wa Ode Forta Nita mengaku, sebelumnya pihak RSUD Butur sudah bicara dengan pihak BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan mengatakan, minimal ada yang dibayarkan kepada pasien yang telah membeli darah di PMI.
Sementara itu ditemui terpisah, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Butur, Safiuddin mengatakan, sesuai regulasi, setiap pasien yang berobat di rumah sakit itu berdasarkan indikasi medis dan sesuai hak kelas perawatannya, dijamin dan tidak boleh ada yang keluar biaya atau biaya tambahan.
Jadi kalau ada biaya pembelian darah itu, bisa juga pasien yang membeli dulu nanti digantikan uangnya, atau pihak rumah sakit yang beli langsung.
“Jadi aturannya seperti itu, tidak boleh dibebankan ke pasien kalau memang itu sesuai indikasi medis atas instruksi dari dokternya,” jelasnya.
Dijelaskan, jika seorang pasien membutuhkan 4 kantong darah sesuai indikasi medis dan dokter menyarankan 4 kantong darah maka rumah sakit wajib menanggung biaya darah tersebut.
Safiuddin mengungkapkan, BPJS Kesehatan setiap tahun membayar berdasarkan tarif yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
“Jadi misalkan diagnosanya anemia, itu sudah ada tarifnya, kita ganti sesuai tarif yang itu. Di dalam itu sudah termasuk biaya dokternya, biaya rawatnya, kalau dia butuh darah termasuk biaya darahnya. Biaya makannya juga di situ. Biaya satu paket namanya,” ungkap Safiuddin.
Disebutkan, BPJS Kesehatan Butur dalam pertahun membayar kurang lebih sekitar Rp 3 Miliar pertahun, sesuai tagihan rumah sakit, itu sudah meliputi biaya dokter, perawat, obat-obatan dan lain sebagainya.
Laporan: Aris
Comment