Hukum Renggangkan Shaf Shalat Antisipasi Covid-19

Kolom, Nasional, Opini430 Views
banner 468x60

Penulis: Dr. Syamsuddin, M.Ag ( Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur dan Dosen UINSA Surabaya)

SYARIAT  Islam memperhatikan dan mengatur shaf shalat secara khusus. Terdapat sejumlah hadis shahih yang menjadi landasan dalilnya.

Salah satunya adalah hadis riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik:

حدثنا أبو الوليد قال حدثنا شعبة عن قتادة عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال سووا صفوفكم فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata: telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Luruskanlah shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bagian dari ditegakkannya shalat.” (Shahih Bukhari 681)

Dalil-dalil atas wajibnya meluruskan dan merapatkan shaf cukup jelas, sehingga imam al-Bukhari membuat bab dalam kitab shahihnya dengan nama bab itsmu man laa yatimmu ashshufuf. Yaitu dosa atas orang yang tidak menyempurnakan shaf.

Ulama tentang Rapatkan Shaf Shalat

Selanjutnya al-Bukhari mengutip hadis dari Busyair bin Yasar al-Anshari dari Anas bin Malik. Diceritakan bahwa Anas bin Malik berkesempatan mengunjungi Madinah kemudian ia ditanya orang. “Adakah yang Anda ingkari dari kami semenjak Anda berislam bersama Rasul Allah?”

Anas menjawab, “Tidak ada yang aku ingkari dari kalian. Hanya saja kalian tidak menegakkan shaf.” (Shahih al-Bukhari, hadis nomor 724).

Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan, ada yang menarik dari pernyataan al-Bukhari tersebut. Yaitu ia ingin menjelaskan kepada publik bahwa dalam keadaan normal menegakkan (meluruskan dan merapatkan) shaf hukumnya wajib.

Berdasarkan hadis-hadis yang menggunakan redaksi kata kerja perintah (shighat fi’il amr), semisal sawwu shufufakum. Juga bedasarkan keumuman hadis, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku shalat. (shalluu kama ra’aitumuni ushalli).”

Selanjutnya al-Bukhari terlihat condong kepada yang mennyatakan tidak wajib berdasarkan qarinah atau indikator yang terdapat dalam hadis Anas bin Malik.

Yakni kesaksian Anas bin Malik pada masyarakat yang tidak menegakkan shaf, dan ia menyatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang ia ingkari kebenarannya.

Namun tidak ada keterangan bahwa Anas menyuruh mereka mengulangi shalatnya. Menunjukkan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf sebagai sunnah penyempurna shalat. Bukan sesuatu yang jika ditinggalkan berdampak pada batalnya shalat.

Namun demikian jika merenggangkan shaf tersebut disengaja maka pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan maka pelakunya berdosa, sebagaimana keterangan Ibnu Utsaimin yang mengutip pendapat Ibnu Taimiyah (Syarah al-Mumti’, VI/3).

Hukum Renggangkan Shaf Shalat

Adapun dalam kondisi khusus yaitu mengantisipasi atas penyebaran Virus Corona (Covid-19) setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit.

Karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams). MUI pusat dalam Fatwa Nomor: 14 Tahun 2020 tentang penyelengaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19, memberikan penjelasan bahwa orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidakterpapar Covid-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman. Serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.

Kedua, dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan).

Kesimpulan Hukum Renggangkan Shaf

Merapatkan shaf adalah salah satu praktik kontak fisik yang tentu saja berpotensi penularan. Maka menimbang, pertama. berdasarkan kaidah fiqhiyyah, laa dharar walaa dhirar (tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain); dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih (menolak mafsadah didahulukan dari pada mecari kemaslahatan).

Juga al-masyaqqah tajlib attaisir (kesulitan menyebabkan adanya kemudahanal); adharar yuzal (bahaya harus ditolak); adhdharar yudfa’u bi qadril imkan (kemudharatan harus dicegah dalam batas-batas yang memungkinkan); adhdharar tuqaddaru bi qadariha (kemudlaratan dibatasi sesuai kadarnya).

Kedua, bahwa rapatnya shaf shalat itu adalah untuk kesempurnaan shalat berjamaah bukan syarat sahnya shalat.

Ketiga, prinsip-prinsip maqashid syariah di mana tujuan syariat Islam adalah menjaga agama, jiwa, akal keturunan, dan harta benda.

Maka, dalam kondisi jiwa berpotensi terancam seperti situasi wabah saat ini, agama masih dapat dijaga dengan memenuhi hal yang wajib.

Dengan demikian mengadakan shalat berjamaah dengan merenggangkan shaf dalam kondisi terancam oleh penyebaran Covid-19 adalah boleh dan bukan pelanggaran syari’at Islam. (*)

Artikel ini telah tayang di PWMU.CO, edisi Kamis, 19 Maret 2020 , 13.20. Editor Mohammad Nurfatoni.

Editor

Comment