Kasus kekerasan terhadap wartawan kembali dipertontonkan oleh sejumlah oknum polisi di Kota Kendari, yang bertugas mengamankan unjukrasa mahasiswa di Kantor Balai Latihan Kerja (BLK) Kendari, Kamis, (18/3/2021).
Rudinan, wartawan Berita Kota Kendari tak luput dari sasaran kekerasan atas tindakan brutal yang dilakukan sejumlah oknum bhayangkara, yang sepatutnya melindungi, mengayomi dan memberi rasa aman.
Rudinan tak hanya dipukuli secara fisik. Makin dengan sebutan salah satu “binatang” pun dilontarkan oknum polisi yang tak terima dengan kehadiran insan pers meliput unjukrasa mahasiswa yang berakhir ricuh dengan polisi.
Kasus kekerasan yang dialami wartawan Berita Kota dan dilakukan oknum polisi di Sulawesi Tenggara, merupakan tindakan brutal oknum yang sudah kesekian kalinya terjadi. Ketua PWI Sultra, Sarjono menilai insiden tersebut merupakan tindakan yang sudah berulang.
Kapolres Kendari AKBP Didik Erfianto didampingi Kasat Reskrim Polres Kendari, AKP I Gede Pranata Wiguna, sudah menyampaikan permintaan maaf atas insiden tersebut.
Permintaan maaf pimpinan kepolisian setelah mencederai wartawan yang juga mengemban tugas sebagai pengawal demokrasi, itu sah-sah saja dan dapat dimaafkan secara manusiawi.
Tetapi menilik kasus kekerasan yang terus berulang dipertontonkan oknum korps bhayangkara terhadap jurnalis, mengindikasikan bahwa sebagian oknum polisi rupa-rupanya masih berpikir feodal. Mereka juga jumawa mempertontonkan arogansi kekuasaan yang melekat dalam uniform mereka. Wartawan masih kerap dianggap musuh. Miris…!!!
Andai saja para oknum tersebut tidak memandang jurnalis sebagai “musuh”, maka kasus kekerasan demi kekerasan tidak akan terulang.
Sangat jelas dan terang benderang dalam amanat undang-undang pers nomor 40 tahun 1999: (1) kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Sangat disayangkan sekali, karena polisi selaku pelindung, pengayom, yang sepatutnya memberi teladan dalam melindungi dan menegakkan peraturan perundang-undangan termasuk pers sebagai bagian dari perwujudan pilar demokrasi. Namun justru merekalah yang mencederai dan justru memberi teladan buruk dalam kasus kekerasan.
Logika dan nalar kita sepertinya buntu, jika harus manut dengan penjelasan: akibat miskomunikasi. Bahwa aparat di lapangan tidak mengetahui kalau yang dipukuli adalah wartawan, sulit dibenarkan akal sehat. Wartawan ketika ke lapangan, sudah membekali diri dengan identitas yang jelas.
Antipati terhadap kehadiran wartawan, itulah sesungguhnya yang masih ada dibenak sebagian oknum polisi, sehingga wartawan masih kerap menjadi sasaran kebrutalan saat menjalankan tugas jurnalistik.
Kita berharap, kekerasan yang dialami wartawan Berita Kota dan dilakukan oknum polisi saat meliput demonstrasi mahasiswa di kantor BLK Kendari menjadi kasus terakhir yang tak boleh dan tak akan lagi terulang.
Polisi di semua tingkatan harus menjunjung tinggi dan menghormati fungsi dan peran yang menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Bahwa dalam menjalankan fungsi dan perannya, pers berpijak kepada: Pancasila (landasan ideologi), UUD 1945 (landasan konstitusional), UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers maupun UU Nomor 14 tahun 2013 tentang keterbukaan informasi publik (landasan yuridis).*