TOPIKSULTRA.COM, MUNA BARAT– Rapat terkait polemik ganti rugi lahan di Bumi Praja Laworoku bersama Pemda Muna Barat (Mubar), Forkopimda dan masyarakat pada Selasa, 7/11/2023 menghasilkan 4 poin penting.
Pertemuan tersebut digelar di ruang rapat kantor bupati Mubar yang dihadiri langsung Penjabat (Pj) Bupati Mubar, DR. Bahri, Kapolres Muna, AKBP Mulkaifin, Dandim 1416/Muna, Letnan Kolonel Inf. Gilles R.B Hogendorp , Kejaksaan Muna yang di diwakili Kasidatun, Puput Wijaya Putra.
Selain itu, masyarakat desa Lakalamba, Kecamatan Sawerigadi yakni Safar Pou, Jen Andri, La Dasa, Asma Rianton juga ikut hadir, termaksud pengacara masyarakat, Firman Prahara.
Meski rapat berlangsung alot, namun akhirnya menyepakati empat poin yang ditandatangani dalam berita acara. Hanya saja, dalam penandatangan berita acara tersebut salah satu warga yang hadir, Safar Pou enggan tanganya menggoreskan tinta hitam diatas kertas putih atau tidak melakukan tanda tangan.
Empat kesepakatan tersebut diantaranya, pertama pemda menyatakan status kepemilikan lahan Bumi Praja Laworoku adalah milik pemda, berdasarkan penyerahan dari Pemda Muna sesuai penurunan status APL.
Sehingga, pemanfaatan tanah dikenakan ketentuan mengenai penanganan dampak sosial dengan mengacu pada Perpres 62 Tahun 2018 dengan aturan teknis adalah Peraturan Menteri ATR/BPN No 6 Tahun 2020.
Kedua, untuk menguji status kepemilikan pemda pihak masyarakat yang tetap mengklaim kepemilikan tanah, dipersilahkan untuk menggugat atau menempuh jalur hukum.
Ketiga, masyarakat untuk menyampaikan aspirasi melalui mekanisme penyampaian pendapat di muka umum, diharapkan secara tertib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tidak menutup jalan yang merupakan fasilitas pelayanan umum, tidak menyuruh atau menghambat pekerjaan pembangunan proyek prioritas daerah dalam kawasan Bumi Praja Laworoku.
Terakhir, dalam hal melaksanakan kegiatan yang dapat mengganggu proyek prioritas, maka pihak penegak hukum akan memproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Diketahui sebelumnya, pekerjaan perkantoran Bumi Praja Laworoku saat ini mandek selama beberapa hari. Pasalnya, warga memblokade jalur menuju pembangunan mega proyek tersebut dan menyuruh para pekerja untuk menghentikan proses pembangunan.
Pemblokiran jalan itu buntut dari tuntutan masyarakat yang tidak menerima bahwa pemda hanya mengganti rugi tanaman yang tumbuh di lahan tersebut, sebab warga menuntut ganti rugi lahan.
Hal itu diungkapkan oleh kuasa hukum masyarakat, Firman Prahara, jika berdasarkan tuntutan masyarakat pada komitmen Penjabat (Pj) Bupati Muna Barat terkait ganti rugi lahan sebesar Rp 8,1 miliar yang berdasarkan asumsi penganggaran yakni Rp 5.000 per meter untuk jalur belakang, dan Rp 10.000 per meter untuk jalur depan.
Begitu pun dengan salah satu masyarakat Marobea, Safar Pou yang mempertanyakan dasar hukum pemda mengklaim lahan tersebut menjadi hutan lindung, padahal sebelumnya lahan tersebut telah digunakan oleh orang tuanya sejak zaman dulu untuk berkebun.
“Bahkan telah ada lahan yang mempunyai sertifikat kalau berdasarkan histori, di sini kami meminta solusi,” ujar Safar dalam rapat.
Menanggapi hal itu, Pj Mubar, Bahri menjelaskan, lahan yang saat ini dibangunkan perkantoran merupakan lahan Pemda yang sebelumnya kawasan hutan lindung, kemudian terjadi penurunan status hutan menjadi APL, dan sebagai persyaratan mekarnya Muna Barat, Pemda Muna memberikan lahan tersebut sebagai aset.
Sehingga, sebagai hak pemda, dirinya menyebut tak boleh mengganti rugi lahan itu, pasalnya pemda telah berkoordinasi ke pihak provinsi, sehingga perkara ganti rugi lahan mengacu pada Perpres Nomor 62 Tahun 2018 mengenai dampak sosial, sehingga untuk membuktikan kepemilikan lahan tersebut melalui pengadilan.
Hal itu juga ditegaskan, Kapolres Muna, AKBP Mulkaifin, dirinya bahkan dengan tegas meminta untuk membuka portal agar pekerjaan tetap berlanjut.
Ia juga menegaskan jika masih ada pemblokiran dilakukan yang berdampak pada berhentinya proses pembangunan perkantoran, maka pihaknya akan segera proses hukum.
“Karena ini berbicara tentang negara, yaitu pembangunan perkantoran merupakan aset, kita harus berdasarkan aturan hukum,” tegasnya.
Ia juga menyarankan kepada pihak-pihak yang tidak menerima dapat mencari penyelesaian melalui pengadilan atau jalur hukum lainnya.
Segendang sepenarian, Kasi Datun Kejari Muna, Puput Wijaya Putra mengaku, pihaknya juga telah meninjau lokasi Bumi Praja Laworoku, dalam peninjauan dilakukan usai penandatanganan MoU terkait pendampingan pelaksanaan kegiatan strategis.
Ia juga berpesan agar masyarakat tidak menghalangi proses pekerjaan yang dilaksanakan oleh PPK dan kontraktor yang saat ini telah berjalan.
“Kegiatan ini resmi setelah melalui tahapan lelang, mereka yang bekerja didalam dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak, karena itu jangan ganggu mereka” tegasnya.
Diketahui sebelumnya diberitakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, lahan perkantoran Bumi Praja Laworoku, Kabupaten Muna Barat (Mubar) berstatus Arel Peruntukkan Lain (APL).
Pernyataan ini disampaikan berdasarkan surat dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jendral Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XXII pada 19 Agustus 2022 Nomor : S.550/BPKH XXII/PKH/PLA.0.2/8/2022 yang berisikan telaah titik koordinat lokasi perkantoran Bumi Praja Laworoku.
Dalam surat tersebut, Balai Pemantapan Kawasan Hutan menyatakan bahwa telaah teknis dilakukan terhadap titik koordinat menunjukan bahwa lokasi perkantoran Bumi Praja Laworoku berada pada Areal Penggunaan Lain (APL).
Laporan: Muhammad Nur Alim.
Comment