Pernah Dipalak, Kisah Dua Wanita Tangguh Penakluk Medan Mataosu

Berita, Feature522 Views

KOLAKA, TOPIKSULTRA.COM — Bagaimana perasan anda ketika ditengah perjalanan yang sepi, tiba-tiba dihadang oleh sekelompok orang dan meminta sejumlah uang?

Pengalaman ini pernah dialami Suster Rosbiati,perawat kontrak daerah yang sudah empat tahun mengabdikan diri di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Desa Mataosu Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara.

“Karena kondisinya sepi, sudah sore, ada sekelompok anak muda yang iseng memanfaatkan situasi untuk malak, dari pada saya dijahati, terpaksa saya kasih,” cerita suster Ros kepada topiksultra.com, Selasa (14/4/2020).

Suster Ros enggan menyebut siapa kelompok pemalak yang biasa “iseng” memanfaatkan situasi untuk menghadang pengendara yang melintas.”Mungkin karena dilihat saya perempuan, jadi mereka iseng,” tuturnya.

Kondisi Jalan Mataosu yang berbukit, licin, curam dan berlumpur. (Istimewa)

Di Poskesdes Mataosu, suster Ros tidak hanya melayani satu desa, tapi terkadang melayani dua desa , yakni Desa Mataosu dan Desa Mataosu Ujung.

Mengabdi di desa terpencil bukanlah pilihan bagi sebagian orang. Namun, bagi Suster Rosbiati dan rekannya Ibu Guru Sarmia Arsyad , dimana saja adalah sebuah tuntutan kewajiban sebagai jalan takdir yang membawa mereka untuk mengenal lingkungan sosial kemasyarakatan yang lain.

Meski setiap kali dalam dua pekan, suster Ros dan Ibu Guru Mia harus menguji adrenalin dan siap jatuh bangun dari tunggangan roda dua untuk menaklukan medan jalan Mataosu yang berbukit, licin, curam, berlumpur, ditambah jembatan kayu. Namun, kondisi tersebut tak membuat keduanya “menyerah”.

Suster Rosbiati, adalah tenaga perawat kontrak daerah yang sudah empat tahun tugas di Mataosu. Alumni AKPER Pemda Kolaka ini adalah warga Desa Gunung Sari Kecamatan Watubangga. Setiap dua pekan lamanya, suster Ros harus rela meninggalkan rumahnya dan suaminya demi mengabdikan diri kepada masyarakat Desa Mataosu. “Kalau pulang tiap sekali seminggu saya harus berpikir seribu kali, capeknya itu, makanya tiap dua minggu baru saya pulang ke Gunung Sari, atau tergantung situasi, itupun paling lama dua hari sudah harus balik lagi,” katanya.

Suster Ros (kiri) dan Ibu Guru Sarmia (kanan)

Sementara Sarmia adalah guru PNS yang baru dua tahun terangkat dan langsung ditempatkan mengajar di SDN 1 Mataosu, yang lokasinya bersebelahan dengan Poskesdes. Wanita lajang asal Desa Tikonu Kecamatan Wundulako ini terpaksa harus memindahkan sekolah adiknya yang masih duduk dibangku SMP untuk bisa menemaninya di Mataosu. “Adik saya Muhammad Afif terpaksa saya pindahkan sekolahnya dari SMP 1 Wundulako ke SMP Satu Atap Mataosu, supaya ada temanku,” katanya.

Sebagai perempuan, melewati jalan Mataosu- Watubangga yang di beberapa titik kondisinya sudah seperti kubangan kerbau, bukan perkara enteng. Tidak hanya diperlukan ketangguhan fisik, tapi harus siap mental. “Sebenarnya ada perasaan takut, tapi tidak ada pilihan, bismillah saja,” kata Sarmia.

Kendaraan terpaksa digotong karena terjebak di jalan yang rusak. (Istimewa)

Bahkan, suster Ros mengaku beberapa waktu lalu tatkala menjelang sore, cuaca di Mataosu mulai hujan gerimis, saat melintasi jalan berlumpur, sepeda motornya mengalami kerusakan dan terjebak dalam kubangan. “Saat itu tak satu pun pelintas yang lewat, saya menunggu sekitar satu jam baru ada orang lewat, saat itu saya hanya bisa menangis karena takut,” tuturnya.

Jalur menuju Desa Desa Mataosu juga harus melewati jembatan kayu. yang tampak membahayakan. (Istimewa)

Dalam kondisi musim hujan saat ini, kata Sarmia, perjalanan yang hanya 20-an kilo dari Watubangga- Mataosu bisa ditempuh hingga 3-4 jam dengan menunggangi roda dua. “Kalau mau ke Mataosu harus siap memang bekal, utamanya air minum,” ujarnya.

Suster Ros dan Ibu Guru Mia berharap, Pemda Kolaka segera memperbaiki kondisi jalan yang sudah rusak parah, sehingga masyarakat tidak sengsara setiap harus bepergian keluar dan masuk ke Desa Mataosu.

Laporan: Tamalaki

Editor

Comment