Oleh : Waode Mustika, SH.,MH (Dosen Hukum UHO dan Praktisi Hukum)
Penggunaan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap jurnalis terus berlanjut. Kasus terbaru terjadi pada dua jurnalis Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Jurnalis media daring setempat, Muhammad Sadli Saleh (Liputanpersada.com) dilaporkan ke polisi oleh Bupati Buton Selatan, Sanahudin dengan judul berita “SIMPANG LIMA LABUNGKARI DISULAP MENJADI SIMPANG EMPAT”, yang terbit tanggal, 10 Juli 2019.
Pelaporan ini menambah daftar panjang pelaporan jurnalis dan media daring dengan menggunakan UU ITE.
Sejak ditetapkannya UU ITE pada 2008, sudah terjadi setidaknya 20 kasus pemidanaan terhadap jurnalis dan media dengan menggunakan UU ITE, terutama Pasal 27 ayat 3. Tahun lalu terdapat delapan kasus pemidanaan dengan UU ITE itu terhadap para jurnalis, Jika tidak segera dihentikan, tren ini amat rentan digunakan untuk membungkam kebebasan pers.
Ketika pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik makin mudah mengkriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, pada saat itu pula publik akan dirugikan. Tidak hanya kalangan media. Ketika media diancam dengan menggunakan UU ITE karena berita-berita kritisnya, pada saat yang sama sebenarnya publik juga terancam untuk mendapatkan informasi aktual versi media.
Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang independen. Media berlaku tak hanya sebagai anjing penjaga, mengawasi praktik-praktik pelanggaran tata kelola negara yang baik, tapi juga menjadi bagian dari wakil publik untuk melakukan pengawasan tersebut.
Meskipun fungsi itu makin hari makin utopis, seiring dengan begitu kuatnya kepentingan bisnis, tetapi mendorong peran ideal tersebut tetaplah relevan dan perlu.
Dari perspektif itu, maka pembungkaman terhadap media dengan menggunakan UU ITE adalah juga membungkam suara publik untuk bersuara kritis terhadap praktik-praktik pelanggaran tata kelola pemerintahan yang baik atau pejabat publik yang menyalahi aturan.
Dalam beberapa contoh kasus, pihak yang keberatan adalah tokoh-tokoh publik. Di Kabupaten Buton Tengah, pihak pelapor adalah Bupati Buton Tengah yang menurut standar jurnalisme memang masuk dalam kriteria layak diberitakan sebagai pejabat publik. Apalagi jika isu yang diberitakan memang relevan untuk publik, seperti dalam hal ini dugaan tindak pidana.
Di sisi lain, pembungkaman terhadap media dengan menggunakan UU ITE adalah juga ancaman akan matinya ruang untuk berdiskusi secara terbuka. Dengan menggunakan Hak Jawab sesuai yang diamanatkan UU Pers, pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah karya jurnalistik bisa memberikan penjelasan secara terbuka kepada media tersebut dan publik. Di sana ada diskusi. Ada fakta yang dibalas dengan fakta. Ada dialektika.
Jika tidak segera dihentikan, kian maraknya penggunaan UU ITE terkait hasil kerja jurnalistik itu bisa menjadi mesin penggali kuburan kebebasan media yang baru kita nikmati kembali pasca Orde Baru. Pada titik inilah UU Pers perlu dipahami kembali.
Menurut UU Pers setidaknya ada dua tahap yang harus dilakukan oleh mereka yang keberatan terhadap pemberitaan sebelum menggugat ke pengadilan.
Pertamadengan menggunakan Hak Jawab, bukan dengan langsung melaporkan ke polisi. Pasal ini menyatakan bahwa jika seseorang merasa keberatan terhadap sebuah pemberitaan yang dianggap merugikan, orang itu bisa menggunakan Hak Jawab, yakni dengan meminta media memuat fakta dan opini yang belum ditampilkan dalam berita yang dipermasalahkan.
Kedua, jika Hak Jawab dianggap tidak cukup, maka ada mekanisme pelaporan ke Dewan Pers yang bertugas menangani masalah-masalah terkait pers. Penilaian Dewan Pers yang menentukan apakah sebuah karya jurnalistik melanggar etika atau tidak. Jika tetap tidak terima, baru melaporkan secara perdata.
Sebagai pengingat, UU Pers bersifat lex specialis, artinya berlaku khusus bagi kasus-kasus terkait karya jurnalistik. Hal ini karena kesalahan karya jurnalistik, jika toh terbukti salah, bisa dikoreksi melalui karya jurnalistik lainnya. Tidak dengan menjadikannya sebagai kejahatan atau tindak pidana.
Namun, UU ITE menjadi semacam jalan pintas bagi pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik agar tidak menempuh tahapan itu. Seseorang bisa langsung melaporkan jurnalis ke polisi tanpa harus menggunakan Hak Jawab ataupun mengajukan keberatan ke Dewan Pers. Pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik di media daring tidak perlu menempuh proses bertele-tele, langsung tuntut secara pidana terhadap jurnalis atau medianya.
Terkait laporan Bupati Buton Selatan terhadap Sadli bisa menjadi contoh ironi bagaimana kepolisian pun gagap dalam menghadapi kebebasan media daring. Padahal, Dewan Pers dan Polri sebenarnya sudah pernah membuat Nota Kesepahaman terkait maraknya kasus kriminalisasi pers.
Pada 9 Februari 2017 Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan Kapolri Tito Karnavian sepakat bahwa kepolisian akan mengarahkan pihak pengadu keberatan karya jurnalistik untuk menggunakan mekanisme bertahap seperti disebut dalam Pasal 4 ayat (2).
Nota Kesepahaman yang ditandatangani di Ambon ini bisa disebut merupakan kelanjutan dari nota kesepahaman sebelumnya di antara kedua lembaga itu. Pada 9 Februari 2012, Dewan Pers dan Polri juga membuat nota kesepahaman serupa. Pasal 3 ayat 5 Nota Kesepahaman mengatakan hal persis sama seperti nota kesepahaman pada 2017.
Toh, terus berlanjutnya proses hukum seperti yang terjadi pada Sadli wartawan Liputanpersada.com, menunjukkan bahwa nota kesepahaman saja tidak cukup. Perlu upaya sosialisasi lebih masif dan komitmen lebih kuat di kalangan kepolisian untuk menjaga kebebasan media dan jurnalis. Aparat hukum harus mencegah agar ironi itu tidak terus berlanjut.
Sebab, apapun bentuknya, karya jurnalistik tetaplah karya jurnalistik. Sebagai karya jurnalistik, ia tetap harus diatur dengan UU lex specialis yang mengaturnya, UU Pers. Dengan cara itu maka tugas media sebagai ruang untuk mempertemukan beragam “fakta” dan pandangan akan tetap ajek” (***)
Comment