Redupnya Otonomi Daerah Dan Kembalinya Sistem Sentralistik Seperti Di masa Orde Baru

Opini188 Views
banner 468x60

Oleh Prof. Musni Umar, Ph.D.
(Sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun)

Salah satu warisan Orde Reformasi 23 tahun lalu yang disambut gembira adalah otonomi daerah.

Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lahir pada masa pemerintahan BJ Habibie, dicetuskan otonomi daerah sebagai antitesa dari sistem sentralistik di masa orde baru.

Otonomi daerah yaitu kesatuan hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang pada intinya adalah desentralisasi yang merupakan antitesa dari sentralisasi yang dilaksanakan rezim Orde Baru, maka semua jenis perizinan dalam rangka pengembangan dan pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat diserahkan kepada daerah.

Otonomi daerah dalam bidang politik dan ekonomi, sudah banyak daerah yang mengalami kemajuan dalam berbagai bidang. Akan tetapi, masih banyak daerah yang perlu dibina dan dikembangkan agar kekayaan alam yang melimpah di daerah mereka bisa manfaatkan untuk membawa daerahnya terutama masyarakatnya maju dan sejahtera.

Kembali Sentralistik

Disahkannya RUU Omnibus Law menjadi UU yang isinya antara lain penyederhaaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, kemudahan dan perlindungan UMKM, dukungan riset dan inovasi, adminsitrasi pemerintahan, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintahan, kawasan ekonomi dan ketenagakerjaan, konsekuensinya banyak UU yang tidak berlaku lagi seperti UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU atau Peraturan yang mengatur tentang pemberian izin berusaha oleh pemerintah daerah.

Konsekuensi hadirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, maka semua perizinan usaha, usaha jasa pertambangan, izin galian C, izin batu kali dan batu kapur dan sebagainya harus izin pusat.

Maka, daerah kabupaten, kota dan provinsi sudah tidak punya wewenang apa-apa dalam pemberian izin usaha. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa otonomi daerah yang intinya adalah desentralisasi pemerintahan dan ekonomi, sudah ditarik kembali ke pusat.

Undang-undang Otonomi Daerah dalam bidang pemerintahan, masih berlaku tetapi kewenangan Bupati, Walikota dan Gubernur melalui pemberian izin usaha, sudah diamputasi oleh UU Omnibus Law, sehingga Bupati, Walikota dan Gubernur sudah tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk mengembangkan dan memajukan daerah masing-masing melalui pemberian izin usaha.

Dampak Negatif

Sepintas lalu, UU Omnibus Law sangat baik karena melakukan penyederhanaan dalam pemberian izin usaha, tetapi tidak pernah dipikirkan dampak ekonomi dan sosial bagi daerah.

Pertama, tidak ada jaminan investasi. Daerah kabupaten, kota atau provinsi, bisa masa’ bodoh karena izin investasi semuanya di pusat.

Kedua, daerah tidak merasa dilibatkan dalam rangka pelaksanaan investasi, sehingga tidak merasa memiliki dan merasa bertanggung jawab.

Ketiga, semua izin usaha dan jasa usaha pertambangan, dibawa ke pusat. Konsekuensinya daerah tidak memperoleh apa-apa untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Keempat, pemerintah daerah sepenuhnya bergantung pada pemerintah pusat, pada hal untuk menggairahkan kemjauan daerah, perlu dipacu kemandirian daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya dalam rangka mewujudkan kemajuan daerah.

Kelima, kalau pemimpin daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) tidak dilibatkan dalam pelaksanaan investasi, maka resikonya bisa tidak ada keamanan dalam berinvestasi.

Keenam, jika rakyat mengetahui bahwa pemimpin mereka di daerah tidak dilibatkan dalam pelaksanaan investasi, maka rakyat akan menuntut macam-macam termasuk menuntut penutupan investasi di daerah mereka.

Oleh karena itu, dari satu aspek hadirnya UU Omnibus law bisa menghadirkan kemajuan ekonomi Indonesia, tetapi dari aspek sosial budaya dan keamanan, bisa mengundang protes sosial, yang pasti mengganggu iklim investasi yang diharapkan hadirnya UU Omnibus Law.


Merugikan Daerah

Hadirnya UU Omnibus Law yang memangkas berbagai UU yang berkaitan otonomi daerah di bidang ekonomi, cepat atau lambat akan merugikan daerah.

Pertama, menjadi kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota dan Gubernur) sudah tidak menarik adanya UU Omnibus Law yang mengamputasi semua kewenangan Kepala Daerah untuk mengembangkan ekonomi daerah.

Kedua, untuk bisa memenangkan kursi Kepala Daerah memerlukan dana yang sangat besar. Akan tetapi, tidak adanya kewenangan dalam pengembangan ekonomi di daerah melalui pemberian izin usaha pertambangan, maka siapapun yang memimpin daerah tidak akan maju karena kepala daerah hanya memiliki tanggungjawab, tetapi tidak memiliki kewenangan dalam pengembangan ekonomi melalui pemberian izin usaha pertambangan.

Ketiga, eksplorasi kekayaan alam akan dilakukan besar-besaran oleh pihak asing. Pada hal menurut UUD 1945 bahwa kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Keempat, usaha kecil menengah dan koperasi, tidak akan mampu berpartisipasi dalam pengembangan sumber daya alam karena tidak memiliki skill, modal, dan sebagainya.

Kelima, para akademisi dan masyarakat madani (civil society), harus semakin berani menyampaikan pandangan dan pemikiran untuk mengkritisi segala macam permasalahan termasuk pengamalan UU Omnibus Law.**

Sumber: arahjaya.com

Editor