TOPIKSULTRA.COM, KENDARI — Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buton Utara diminta untuk meninjau kembali Keputusan Bupati Buton Utara Nomor 221 tahun 2020 Tentang Penetapan Klasifikasi dan Besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan yang ditetapkan di Buranga pada 20 Mei 2020 lalu.
Pengurus Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia Sulawesi Tenggara (ADHI Sultra) Bidang Kenotariatan, Dr. La Ode Munawir, S.H., M.Kn mengatakan, keputusan bupati tersebut dinilai memberatkan masyarakat, pasalnya harga yang ditentukan oleh Pemda dalam Surat Keputusan tersebut tidak sesuai dengan transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
Nawir mengungkapkan, salah satu ketentuan dalam keputusan tersebut menyatakan bahwa penetapan NJOP sebagaimana diktum kesatu adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru atau NJOP pengganti.
Jika mengacu pada ketentuan diktum Ketiga, lanjut Nawir, ada bebarapa poin penting yang perlu diperhatikan.
Pertama untuk penetapan nilai jual objek pajak harus berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar
Kedua bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru atau NJOP pengganti.
“Akan tetapi implementasi ketentuan diktum ketiga ini ditafsirkan lain oleh Badan Keuangan, Bidang Pendapatan Daerah Kabupaten Buton Utara,” jelasnya Dosen Pascasarjana Universitas Sulawesi Tenggara ini, Selasa, (8/6/2021).
Menurutnya, Jika terjadi transaksi jual beli hak atas tanah maka semua rujukan hukum dalam penentuan NJOP mengacu pada lampiran keputusan bupati No. 221 Tahun 2020 dan tidak lagi memaknai ketentuan diktum pertama sampai kesepuluh.
Sementara poin pentingnya seharusnya transaksi jual beli yang terjadi secara wajar sesuai harga transaksi yang sebenarnya,.
“Contoh yang paling kongkrit jika mengacu pada keputusan No. 221 tahun 2020 harga transaksi yang ditetapkan di desa Kadacua, Kecamatan Kulisusu, permeter untuk jalan poros membuku senilai Rp. 103.000 satu meter persegi dan untuk jalan kebun Rp. 82.000 satu meter persegi padahal menurut keterangan berapa warga harga ideal tanah di desa kadacua 15.000 hingga 20.000 permeter. Ini berarti harga yang ditentukan oleh pemda sudah tidak sesuai dengan transaksi jual beli yang terjadi secara wajar,” lanjutnya.
Tidak hanya itu, hal lain yang menjadi permasalahan dalam Surat Keputusan tersebut yaitu tentang penjabaran klasifikasi wilayah yang masih simpang-siur, misalnya tanah yang terletak di samping jalan tentunya akan berbeda nilai ekonomis dengan tanah didalam lorong (gang) walaupun masih dalam satu wilayah desa atau kelurahan.
Nawir berpendapat, dalam merumuskan aturan seharusnya melibatkan pihak-pihak yang berimplikasi sehingga dalam pengambilan keputusan bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
“Jika Pemda akan tetap bersikeras untuk memberlakukan aturan ini dengan alasan membandingkan di beberapa kota di Sultra tentunya ini merupakan langkah yang terlalu cepat diberlakukan di Buton Utara, mestinya perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat,” imbuhnya
“Tujuan dari penentuan NJOP untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tentunya bukan dengan cara membebankan kepada masyarakan akan tetapi harapan kita bersama adalah Pemda lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan potensi daerah Buton Utara. Sehingga jika keputusan No. 221 tahun 2020 tetap dipertahankan maka aturan ini Keberpihakannya kepada masyarakat dipertanyakan,” jelasnya
Untuk itu, selaku pegiat hukum di bidang kenotariatan, Nawir berharap besar aturan ini segara ditinjau kembali baik itu pemerintah Buton Utara maupun DPRD Kabupaten Buton Utara sebagai representasi dari masyarakat agar mengevaluasi keputusan No. 221 tahun 2020 karna telah menuai problem ditengah masyarakat.
Laporan: Emil
Comment