Politik dan Provokasi Media Terhadap Masyarakat Awam

Opini268 Views

Oleh: La Ode Rahman Daud (Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta)

OPINI — Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada 17 Agustus 1945, para pendiri Negara Indonesia (The Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian, berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).

Salah satu ciri Negara demokratis di bawah rule of law adalah terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas. Pemilihan umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif, baik itu presiden/wakil presiden maupun kepala daerah.

Pemilihan umum bagi suatu negara demokrasi yang berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak politik rakyat dapat dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi. Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama dalam sejarah Bangsa Indonesia yang menggunakan sistem multi partai. Saat itu, Republik Indonesia baru berusia 10 tahun. Jarak yang begitu jauh terkait pemilihan umum yang pertama kali pada tahun 1955 dengan Kabupaten Wakatobi yang baru dimekarkan sejak 18 Desember 2003.

Politik di Kalangan Masyarakat Awam Wakatobi

Kabupaten Wakatobi resmi ditetapkan sebagai salah satu kabupaten pemekaran di Sulawesi Tenggara dan mengatur kebijakan daerahnya sendiri, seperti yang tertera dalam peraturan otonomi daerah dimana otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan umur Kabupaten Wakatobi yang baru berusia 18 tahun, jika dibandingkan dengan daerah lain seperti di Jawa yang lebih dulu mengenal pemilu, tentu pengalaman dalam berpolitik masih terlalu dini. Mengingat usianya belum terlalu lama, banyak yang memanfaatkan awamnya masyarakat dalam berpolitik tersebut untuk dijadikan sebagai permainan-permainan kalangan elit.

Kurangnya edukasi atau pendidikan berpolitik cerdas membuat banyak orang tidak mengetahui apa politik itu sebenarnya. Masyarakat hanya berpandangan bahwa politik itu adalah ketika ada pemilihan bupati atau DPR dan sebagainya. Sementara, ranah politik lebih luas, bukan hanya berbicara pemilihan saja. Meskipun demikian, ketidakpahaman ini sampai saat ini masih terkesan sengaja dibiarkan untuk kepentingan masing-masing kelompok tersebut.

Kepentingan dan Serangan Isu Klasik di Masyarakat Awam Wakatobi di Berbagai Media

Saat gelombang pemilu menjelang tiba, banyak oknum-oknum kembali memunculkan isu-isu utama tentang perubahan sosial, beberapa pertanyaan klasik, isu-isu yang dulu tenggelam kini dimunculkan kembali ke permukaan. Lewat berbagai media, dimunculkannya dalil-dalil agama sebagai isu-isu dan bahkan isu tentang kemiskinan, kepribadian, infrakstruktur, ketenagakerjaan diangkat kembali seolah-olah memiliki keterkaitan.

Apakah perubahan sosial merupakan sesuatu yang deterministis atau sesuatu yang ada dalam jangkauan ikhtiar manusia?
Perubahan sosial ini memunculkan berbagai problem dalam berbagai kalangan masyarakat. Perdebatan argumentasi yang tak kunjung selesai bermunculan di ranah masyarakat tanpa memberikan solusi.

Selain itu, munculnya politisi-politisi dadakan di media sosial juga hanya memperkeruh keadaan. Seolah-olah, merekalah yang lebih paham dari pada yang lain. Ketidak-karuan ini membuat dari pihak-pihak pendukung memanfaatkan momen-momen tersebut untuk memanas-manasi dengan saling menghujat, menjatuhkan, menyebar berita hoaks di berbagai media massa maupun media sosial.

Ibarat iklan shampo di TV, demi meraih simpati masyarakat, pendukung masing-masing kandidat dengan lihainya mempromosikan figur yang didukungnya sebagai manusia sempurna (perfect-person) dibandingkan dengan yang lain.

Tentu dari sini kita bisa menilai, apakah orang yang berusaha mati-matian menyuarakan aspirasinya untuk memenangkan kandidatnya karena kepentingan atau benar-benar dari hati nurani bahwa orang yang dipromosikan itu adalah figur yang mampu memberi perubahan untuk daerah kita tercinta ini. Namun bila kepentingan-kepentingan cenderung bersifat divergen dan kesadaran politik serta toleransi politik belum cukup memadai, maka banyaknya partai politik bisa menimbulkan makin meruncingnya perbedaan dan memperparah keruwetan, yang berimplikasi pada sulitnya manajemen politik untuk memelihara konflik pada tingkatan yang optimal.

Minimnya edukasi politik menyebabkan masih banyak masyarakat yang hanya dijadikan target untuk mendulang suara. Selain itu, rendahnya tingkat edukasi ini menyebabkan masyarakat mudah terprovokasi pada saat gelaran pemilu.

Rakyat harus dididik berpolitik secara tepat dan benar. Selama ini hanya mencoblos dan memilih, tapi tidak memahami sistemnya.Ketidaktahuan masyarakat tentang politik kerap membuat mereka mudah terprovokasi yang justru sering merugikan diri mereka sendiri. Masyarakat harus diajak menghargai aturan yang ada. Jangan terprovokasi turun ke jalan karena tidak saling percaya. Jangan mau terpancing apalagi sampai menghina orang lain.

Dalam lingkungan masyarakat, kita bisa saling mengedukasi. Dengan begitu, persatuan dan perdamaian dapat terus tercipta. Begitu pun ketika ada kecurangan, agar diselesaikan secara sehat dengan acuan peraturan yang berlaku. Komunikasi antar warga masyarakat bisa berjalan lebih baik, khususnya warga dengan aparat keamanan dan perangkat pemerintahan setempat.

Dengan begitu, diharapkan gejolak perpecahan dan provokasi bisa diredam. Adanya komunikasi yang tidak harmonis antar warga, dikhawatirkan menjadi sumber terjadinya perpecahan. Komunikasi terbuka harus terus dilakukan dalam berbagai hal, termasuk politik. Masyarakat harus banyak bertanya kepada petugas di lingkungan setempat yang berwenang, bila ada ajakan yang dianggap memprovokasi dan jangan mudah percaya dengan isu-isu yang belum jelas sumbernya atau hoax tanpa diverifikasi terlebih dahulu apakah informasi itu benar atau tidak. (*)

Editor

Comment