TOPIKSULTRA.COM, KENDARI – BKKBN Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terus merentangkan sayap dalam upaya percepatan penurunan angka stunting di provinsi Sultra.
Salah satu upaya tersebut, mengajak keterlibatan berbagai elemen masyarakat untuk turut serta berkampanye dalam rangka percepatan penurunan angka stunting.
Kepala BKKBN perwakilan provinsi Sultra, Drs. Asmar pada acara yang dikemas dalam kampanye penurunan stunting melalui kegiatan momentum bersama TNI/Polri/ mitra strategi lainnya, menjelaskan beberapa indikator agar percepatan penurunan angka stunting menurut SSGI 2022 bisa terpenuhi. Senin (27/2/2023)
Ia menyampaikan, ada dua indikator yang menjadi pedoman dalam mengidentifikasi, gizi spesifik dan gizi Sensitif. Kalau gizi spesifik tentu terkait imunisasi rutin dan dasar lengkap pemantauan pertumbuhan balita, serta pemberian makanan balita dan ibu hamil.
“Indikator dari gizi spesifik juga termasuk, pemeriksaan kehamilan yang rutin harus dilakukan oleh ibu hamil, konsumsi tablet dan vitamin dan selalu siaga untuk pengobatan sang balita,” tambahnya.
Sedangkan gizi sensitif, ada jaminan kesehatan, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), sanitasi yang layak, juga bantuan sosial.
Gizi sensitif juga menyangkut bantuan sosial seperti program keluarga harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai(BPNT), dan Bantuan Langsung Tunai(BLT).
“Hadirnya rumah sehat juga sangat menentukan terjadinya penurunan stunting, bahkan ketahanan pangan keluarga serta keragaman pangan balita turut berperan dalam hal tersebut,” ungkap Asmar.
Asmar mengatakan penyebab stunting terjadi begitu kompleks, dan bukan hanya dari soal krisis gizi melainkan banyak faktor.
“Pola asuh anak, perencanaan pernikahan hingga faktor ekonomi pun menjadi persoalan anak termasuk dalam kategori stunting,” ungkapnya.
Olehnya itu, ia berharap kepada segenap elemen masyarakat untuk andil dalam meminimalisir, dan pencegahan terjadinya stunting pada anak, minimal menggelorakan perilaku hidup bersih dilingkungan keluarga.
“Karena kebersihan sangat erat kaitannya sebagai salah pemicu, sehingga 70 persen daerah sensitif seperti sanitasi jamban, air bersih, ini semua adalah pemicu stunting, jadi bukan hanya gizi saja, tapi infeksi berulang,” katanya.
Kendati demikian menurut Asmar, persoalan ini bukan hanya jadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan harus ada juga peran akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media yang terbungkus dalam merode Pentahelix.
Ditempat yang sama, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sultra, Sarjono juga menyampaikan bahwa keterlibatan media sangat diperlukan dalam penanganan masalah stunting.
“Dengan penyebaran informasi yang edukatif dilakukan oleh media, diharapkan dapat membantu masyarakat dalam rangka pencegahan dan penurunan angka stunting di Sulawesi Tenggara,” katanya.
Laporan: Novrizal R Topa
Comment