Oleh: Andi Hatta
Pemilihan umum secara langsung presiden (Pilpres), Pilgub, dan Pilbup/Pilwali adalah pesta demokrasi yang berbiaya mahal. Biaya iklan, operasional tim sukses dan tentu saja serangan fajar, tengah hari dan tengah malam.
Biaya pelaksaaan pemilu dan biaya operasional untuk mencari dukungan dikategorikan uang politik sementara biaya untuk membeli dukungan suara disebut politik uang.
Pemilihan Presiden secara langsung pertamakali dilakukan di Indoesia pada periode 2004-2009. Saat itu, ada 5 pasang Capres-Cawapes yang akhirnya dimenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyon-Yusuf Kalla (SBY-JK).
Perebutan kursi kekuasaan ini tak hanya butuh uang politik tapi juga politik uang. Hal ini terjadi tidak hanya pada Pilpres, Pilcaleg, dan Pilkada tapi juga sudah merambah hingga Pilkades.
Mahalnya biaya pesta demokrasi dan masih banyaknya rakyat yang jual suara, membuat investor politik ramai-ramai menanam saham.
Semua tim sukses dari berbagai tugas dan levelnya, tentu membutuhkan biaya operasional. Belum lagi, biaya beli “pintu” dan “amunisi” untuk serangan siang, malam dan serangan fajar.
Dari pengamatan penulis, tim sukses terbagi beberapa kelompok kerja. Pertama, tim pakar. tim ini merumuskan visi-misi serta taktik strategi pemenangan.
Kedua, tim survey dan polling, tim ini akan bekerjasama dengan lembaga survey sekaligus mempublis hasil survey yang mengunggulkan sang calon, minimal berada di 3 besar dengan jarak elektabilitas yang tidak terpaut jauh.
Ketiga, tim pencitraan. Tim ini mengkoordinir media termasuk media sosial serta membuat skenario atau mengarahkan, bagaimana sang calon berbicara, bersikap dan bertindak.
Keempat, tim lapangan. Tim ini selain menyosialisasikan sang calon pemimpin, juga sebagai “intelijen” yang mengumpulkan informasi tentang sang calon, baik informasi positif maupun negatif. Informasi ini disampaikan ke tim pakar untuk selanjutnya di bawah ke “laboratorium ideopolstratak”.
Tim lapangan ini, biasanya terdiri dari Ring 1, Ring 2 dan Ring 3.
Ring 1 bertugas mengkomunikasikan dan mengkonsolidasikan tokoh-tokoh berpengaruh dalam komunitas masyarakat tingkat atas, baik formal maupun non formal. Tim ini biasanya banyak main dan ngopi di hotel-hotel atau di tempat yang relatif aman dan nyaman.
Ring 2 bertugas menggalang dukungan di kelas menengah, tim ini biasanya banyak main, ngopi dan diskusi di warkop-warkop berkelas dan ramai pengunjung.
Ring 3 bertugas menyosialisasikan dan mempengaruhi pemilih akar rumput.
Di era digital saat ini, tim sukses pada semua tingkatan juga aktif menyosialisasikan calon yang didukung dengan memanfaatkan media, khususnya media sosial.
Pada tingkat Pilbup/Pilwali yang penduduknya 100-300 Jutaan, seorang calon membutuhkan dana sekita Rp 15 M-25 M, itu pun terkadang kehabisan “bensin” di tengah jalan.
Biaya yang cukup mahal tersebut memaksa para calon untuk mencari “investor” alias cukong yang bisa membantu membiayai operasional pesta demokrasi.
Para investor politik yang lebih dikenal dengan sebutan oligarki ini tentu bukanlah dermawan yang menginfakkan uangnya untuk demokrasi, apalagi untuk kemaslahatan umat. Juga bukan untuk kemajuan bangsa dan negara, tapi untuk mengendalikan politik dan ekonomi bahkan juga ideologi.
Sebagai pengusaha sekaligus agen imperialis, para cukong politik ini sudah pasti memburu keuntungan berlipat. Karenanya, tak jarang para cukong ini menginvestasikan dananya di 2-3 calon. Istilahnya main 2 kaki.
Jadi, siapa pun pemenangnya diantara yang dibiayai itu, oligarkilah pemegang remot controlnya.
Keterlibatan oligarki dalam mengatur ekonomi dan politik di Indonesia sudah menjadi pengatahuan umum, namun masih sulit dibuktikan karena memang kesepakatannya di area gelap.
Tapi ini bisa dideteksi, siapa-siapa yang mendapat proyek besar di APBN/APBD, siapa-siapa yang mendapat izin HGU dan dilindungi aparat, siapa-siapa yang dapat izin ekspor-impor dalam jumlah besar. Bahkan bisa jadi juga ikut menentukan pejabat dan merumuskan regulasi. Dan, kehadiran mereka sebagai investor faktanya tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Kalau pun ada yang mendapat manfaat, itu hanya segelintir orang sebagai pekerja atau dapat bantuan sembako, tapi lahan persawahan/perkebunan, tambak dan rumah mereka tak jarang tertimbun atau terbawa arus banjir bandang akibat hancurnya lingkungan hidup.
Untuk menghilangkan intervensi oligarki dalam ideologi, politik dan ekonomi di Indonesia, maka semua stakeholder harus berkomitmen untuk melawan dan menghentikan praktek politik uang.
Pemimpin yang lahir dari membeli suara kebodohan dan kemiskinan rakyat yang dibiayai oleh pengusaha serakah, maka bisa dipastikan pemimpin bersangkutan akan membisniskan kekuasaan, menjual tanah air untuk dan atas nama investasi, menindas rakyat untuk dan atas nama pembangunan.
Comment